Sunday, June 26, 2011

BUDAYA BISNIS RRC PADA ERA GLOBALISASI


I.PENDAHULUAN

Dimulai pada awal era 1980-an RRC mengalami tidak kurang daripada keajaiban ekonomi. Saat ini RRC merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia; Dengan GDP sebesar US$ 8,158 trilyun pada 2005, GDP sebesar kurang lebih US$ 1.703 perkapita pada 2005, dan pertumbuhan ekonomi 9,2% setiap tahunnya. Aspek terpenting dari fenomena ini adalah sebuah sistem terbarunya yang sangat unik. Sistem itu bukan jiplakan dari sistem ekonomi yang pernah ada, melainkan sesuai dengan citarasa Cina yang khas (Prof. Michael Hough, 1995). Sistem ekonomi baru itu akan menjamin pertumbuhan dan kemakmuran Cina sampai abad ke-21. Dengan penduduk yang sekarang sudah mencapai sekitar 1,3 milyar (satu perlima total penduduk dunia), pasar terbesar dunia, RRC selalu akan menyediakan peluang bisnis yang menggiurkan dan menguntungkan bagi pengusaha manapun juga.

Pencapaian RRC moderen tidak lepas dari usaha Partai Komunis Cina (PKC) yang mereformasi negaranya secara besar-besaran dan menciptakan sistemnya yang unik: you Zhongguo tese de shehuizhuyi ??????????, atau Sosialisme yang bercirikan Cina. Pada bidang ekonomi, pidato Deng Xiaoping yang dikenal sebagai “ucapan nanxun” dikristalisasikan dalam Konggres Nasional PKC ke-14 (September 1992), yang kemudian melahirkan rumusan shehuizhuyi shichang jingji ???????? (ekonomi pasar sosialis). Sejak saat itu, kebijakan yang dituangkan dalam garis besar haluan negara ini, mendasari pertumbuhan ekonomi RRC hingga saat ini.

Serba perubahan pada awal “era globalisasi” menuntut peninjauan ulang atas tanggapan lama mengenai budaya bisnis suatu negara, tidak terkecuali budaya bisnis Cina. Analisis para peneliti diharuskan untuk dapat menyajikan dengan hidup dan tepat gambaran mengenai bisnis/perekonomian RRC pada jaman moderen. “Informasi, yang mirip teknologi, cepat usang dan tidak relevan lagi.” Pentingnya mempelajari cara belajar ini mengingatkan kita pada hakekat pendidikan di era globalisasi, yang mencerminkan pendekatan yang sangat praktis terhadap studi tentang Cina kontemporer.

Berangkat dari hal-hal tersebut ketertarikan penulis terhadap budaya RRC moderen, memberikan banyak pertanyaan menantang yang menarik untuk dibahas. Sebutlah kasus-kasus seperti konsistensi ideologi negara, perubahan nilai-nilai kebudayaan, jaringan bisnis Cina, problem diaspora, dan lain-lain. Namun, hal menarik yang dapat ditemukan ketika berbagai pertanyaan tersebut akan dituangkan ke dalam suatu analisis mendalam, semuanya berangkat dari satu hulu yang sama: Apa yang sedang terjadi pada Cina sekarang? Lebih jauh lagi, pertanyaan tersebut kemudian membawa kita pada suatu usaha pencarian pemahaman baru akan Cina yang ‘bertransformasi’, atau sama seperti pada pameo yang belakangan sering kita dengar : “Sang Naga telah bangkit dari tidurnya.”

Ditinjau dari angle kebudayaan, aspek terpenting dari fenomena yang terjadi di Cina moderen dapat disajikan dalam suatu titik fokus tertentu, yang diharapkan dapat memberikan pemahaman atas pertanyaan-pertanyaan dasar seperti mengapa, kapan, bagaimana, apa, dan siapa; Bidang perekonomian sebagai ujung tombak pembangunan negara melahirkan banyak elemen kebudayaan baik itu simbol-simbol, cara interaksi, distribusi konsep, jaringan bisnis, norma-etika bisnis, dan lain-lain. Ini semua yang kemudian dapat mengantarkan kita pada pemahaman terhadap keberhasilan bisnis Cina di era globalisasi. Di satu sisi, pernyataan “Budaya Bisnis Cina Moderen” yang berhasil mendongkrak kebangkitan RRC di mata dunia, mengandung makna yang sangat luas bagi para peneliti, sebagian menilainya kontradiktif, sebagian lagi menganggapnya sebagai suatu kewajaran.

Dikatakan kontradiktif karena, Cina sebagai salah satu kekuatan utama komunis dunia sejak 1949 jelas-jelas mengharamkan konsep kapitalisme & individualisme dalam menjalankan negaranya. Pada kenyataannya, saat ini ladang bisnis RRC yang potensial benar-benar digarap pemerintahnya dan dibuka seluas-luasnya untuk pihak asing (tetapi masih dengan kontrol yang ketat oleh PKC). Apalagi jika kita menengok kembali pada nilai-nilai lama seperti Konfusianisme yang sangat mempengaruhi pemikiran orang Cina hingga kini, keberhasilan dunia bisnis di RRC saat ini dapat dikatakan telah menyimpang sekali dari nilai-nilai lama dan mencoreng ideologi asal (komunisme). Kewajaran itu sendiri dapat dikatakan tercipta karena perkembangan jaman dan harga diri RRC yang tinggi di mata dunia internasional.

Baik itu kontradiktif maupun tidak, studi terhadap budaya bisnis Cina itu sendiri telah banyak menyita perhatian para peneliti belakangan ini. Tulisan kecil ini dibuat sebagai salah satu bahan pemahaman terhadap RRC moderen, khususnya tentang hubungan dalam bidang kebudayaan dan dunia bisnis Cina. Ruang lingkup yang digunakan adalah RRC pada era 1980-an sampai dengan 2003, di luar kota Hongkong dan Shanghai.

Budaya Bisnis Masyarakat Cina Tradisional


Pembahasan mengenai budaya bisnis RRC pada masa moderen tidak dapat dilepaskan dari kaitannya dengan kebudayaan masyarakat Cina tradisional. Pembahasan akan aspek ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam dan sistematis.

Momentum kebangkitan para kaum bisnis Cina sudah dimulai pada akhir abad kesembilan belas, tepatnya pada era awal kejatuhan dinasti Qing. Hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya kelas komprador pada struktural masyarakat Cina saat itu. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa sebelum masa ini kaum bisnis Cina tidak/belum pernah ada. Golongan pedagang sudah dikenal di Cina sejak runtuhnya feodalisme dinasti Zhou (1122-246 SM). Saat itu dan hingga seterusnya, golongan ini eksis di masyarakat Cina, namun menempati posisi sosial yang paling rendah. Masyarakat Cina tradisional menggunakan sistem hierarkis dalam memandang nilai pekerjaan seseorang. Penekanannya kepada nilai tenaga kerja (buruh) dan nilai bahan mentah.

Berikut adalah empat lapisan sosial yang terdapat pada masyarakat Cina tradisional, dari strata yang paling rendah hingga ke yang paling tinggi :

1. Kaum pedagang, pemain teater, tentara, pelacur

2. Kaum pengrajin (tukang batu, tukang kayu, dll)

3. Kaum petani

4. Kaum literati dan elit pemerintahan

Fungsi kaum pedagang pada masyarakat Cina tradisional dalam hubungannya dengan sistem strata sosial tersebut hanyalah sebatas sebagai pengelola pasar, pelatihan magang, dan ritual pemujaan. Mereka tidak pernah menentang sistem sosial yang sudah berjalan seperti itu, dan berharap dapat meningkatkan status sosial keluarganya dengan mendidik anak-anaknya agar dapat menjadi bagian dari kaum terpelajar.

Siapa atau apa yang membuat sistem sosial pada masyarakat Cina tradisional berlaku seperti itu? Sistem masyarakat Cina tradisional sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai lama seperti Konfusianisme. Ajaran yang muncul pada dinasti Zhou Timur ini mengajarkan suatu ideal tentang bagaimana suatu negara seharusnya dijalankan, dengan menekankan kepada pendidikan moral berdasarkan suatu sistem yang hierarkis. Hal ini dapat kita lihat dari konsep-konsep seperti Wu-lun (lima hubungan), empat konvensi moral, dan lain-lain. Terkhusus mengenai yang disebut terakhir, Konfusius mengajarkan bahwa negara (Cina) harus dijalankan secara hierarkis, yaitu: Cina dibangun berdasarkan negara keluarga, satu organisasi sosial yang otokratis, hierarkis, dan tidak demokratis. Kemakmuran bersama dicapai dari hasil-hasil pertanian. Kestabilan suatu negara dapat dijamin dengan hierarki yang jelas. Dengan kata lain, yang lebih rendah taat kepada yang lebih tinggi, dan yang lebih tinggi menunjukkan kemurahan hati sebagai balasan terhadap kesetiaan tersebut.

Dalam konvensi moralnya Konfusius juga mengajarkan tentang paham kolektivisme. Menurutnya, kolektivisme ini menentukan status individu yang ditentukan oleh hubungannya dengan sistem hierarki. Oleh karena itu, orang yang beretika Konfusian akan bertindak sesuai dengan harapan orang lain daripada harapan/keinginannya pribadi, sehingga mereka selalu bersedia bekerjasama. Individu tidak terpisah dari struktur sosial, melainkan sebagai komponen etis dari suatu bangunan sosial yang lebih besar. Semua hal yang disebut inilah yang mendasari atas berjalannya sistem sosial pada masyarakat Cina tradisional.

Telah diketahui bahwa kaum pedagang menempati posisi terbawah dari strata sosial masyarakat Cina tradisional. Kaum yang dianggap ‘berkemampuan’ lebih, atau ‘lihai’, dan selalu bernafsu mengejar keuntungan sendiri oleh masyarakat Cina tradisional ini, jelas-jelas diposisikan sebagai golongan inferior pada masyarakat, sama seperti yang dikemukakan oleh Guo Hengshi pada sebuah esainya yang berjudul The Early Development of The Modern Chinese Business Class : “Treacherous Merchant was the usual phrase for traders or middlemen. All material innovation and prosperity was renounced by the great teaching of Confucius and his followers.

From time to time, merchants were actually suppressed, especially when they appeared to mount in power.” Konsep pembagian tenaga kerja pada masyarakat Cina tradisional semata-mata berdasar atas dikotomi : literati dan petani. Literati berperan dalam menjalankan pemerintahan, petani diperintah dan memproduksi hasil bumi untuk mendukung para superordinatnya. Akibatnya, prestise kaum literati pada strata sosial lebih tinggi dibanding golongan lainnya, karena mereka dikatakan ‘bekerja dengan pikiran’, dan petani yang ‘menggunakan tangannya’ menempati posisi di bawahnya. Semua aktivitas penghidupan selain pengolahan tanah dianggap tidak lazim dan tanpa dukungan moral.

II. Keunikan Budaya Bisnis Cina

Sistem ekonomi pasar sosialis yang dilakukan di RRC sejak tahun 1992 memberikan banyak sekali kemajuan bagi masyarakat Cina moderen. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa sistem ekonomi Cina yang baru memiliki keunikan yang tidak pernah ada di negara manapun di dunia, sistem ini pun memiliki beberapa elemen-elemen penting yang lahir dari setiap aktivitas berbudaya (melalui bisnis).

Berikut beberapa elemen tersebut :

1. guanxi

2. ganqing

3. xinyong

II.I. guanxi


Secara harafiah, guanxi berarti hubungan. Makna ini dapat digunakan untuk setiap jenis hubungan. Dalam budaya bisnis Cina guanxi dapat diartikan sebagai ‘koneksi’. ‘Koneksi’ di sini bermakna sebagai suatu jaringan hubungan di antara bermacam-macam personal, kelompok / badan yang saling bekerjasama dan mendukung satu sama lain. Mental para pebisnis Cina sangat dekat maknanya dengan sebuah pameo dari Barat, “You scratch my back, I’ll scratch yours.” Di mana pun, kapan pun, dalam mengurus segala hal, orang Cina selalu “kao guanxi”, artinya pakai koneksi.

Tanpa memperhitungkan pengalaman seseorang / sebuah badan di negara asalnya, guanxi adalah jaminan akan kelancaran berbisnis di Cina. Guanxi dapat meminimalisir kemungkinan gagal suatu badan dalam berbisnis di Cina dan hambatan-hambatan lainnya seperti ‘prosedur bayangan’, dan lain-lain, jika didapatkan secara tepat. Seringkali guanxi yang benar-benat tepat dihubungkan dengan pihak yang berwenang (pejabat setempat / pemerintah) yang nantinya akan sangat menentukan eksistensi badan (perusahaan) tersebut di Cina dalam jangka panjang.
Guanxi dapat muncul dalam berbagai bentuk. Bisa saja terjadi dalam sebuah malam di tempat karaoke dengan pemimpin departemen pemadam kebakaran setempat, agar proposal pengajuan ruang kerja baru dengan komputerisasi yang mutakhir disetujui. Atau pada tingkat yang lebih tinggi, guanxi bisa saja berarti datangnya eksekutif perusahaan asing untuk berjabat tangan dengan menteri terkait yang menjadi kunci As dalam pengerjaan sektor industri potensial.

II.II. ganqing
Secara harafiah ganqing berarti perasaan. Dalam budaya bisnis Cina konsep ganqing masih berhubungan dekat dengan guanxi. Ganqing merefleksikan suasana umum dari hubungan sosial dari dua orang atau dua badan yang saling berinteraksi. Seseorang dapat dikatakan memiliki ganqing yang baik jika hubungannya dengan orang lain tersebut baik, selain track-record hubungan yang baik di antara keduanya. Sedangkan ganqing yang mendalam adalah terdapatnya ikatan perasaan / hubungan batin yang dalam pada hubungan sosial itu sendiri.
Contoh dari ganqing sering ditemukan pada pernyataan-pernyataan pemerintah Cina dan seringkali salah diterjemahkan ketika diaplikasikan pada konteks ini. Perkataan atau tindakan yang dapat melukai perasaan orang Cina sepatutnya dihindari jika ingin terus bekerjasama (berbisnis) dengan mereka. Konsep ganqing juga dekat sekali maknanya dengan konsep ‘muka’ dalam budaya Cina.

Konsep ‘muka’ dalam kebudayaan Cina mengacu kepada dua hal yang berbeda tapi saling berhubungan, yaitu mianzi ?? dan lianzi ??. Lian adalah kepercayaan masyarakat dalam karakter moral seseorang. Sedangkan mianzi merepresentasikan persepsi sosial terhadap prestise seseorang. Konsep menjaga muka sangat penting halnya dalam hubungan sosial masyarakat Cina karena muka mewakili kekuasaan dan pengaruh. Kehilangan lian berakibat pada hilangnya kepercayaan sosial terhadap seseorang. Dan kehilangan mianzi berakibat pada kehilangan wibawa dan wewenang seseorang. Contoh gampangnya, gosip tentang seseorang yang mencuri dari kas toko; Ia akan kehilangan lian bukan mianzi. Pada kejadian lainnya, memotong pembicaraan bos/atasan seseorang menyebabkannya kehilangan mianzi bukan lian.

Orang Cina berusaha sebisa mungkin menghindari suatu konflik dalam melanggengkan hubungan dengan sesamanya. Ketika mereka menghindari konflik biasanya orang Cina akan berusaha untuk tidak menyebabkan seseorang kehilangan mianzi-nya, yaitu dengan tidak memunculkan kenyataan-kenyataan yang memalukan ke hadapan publik. Sebaliknya, ketika mereka ingin menantang suatu wewenang atau orang lain dalam suatu komunitas tertentu, orang Cina akan berusaha menyebabkan orang tersebut kehilangan lian atau mianzi. Satu contoh publik akan hal ini yaitu saat Tragedi Tian’anmen 1989 di mana Wu’er Kaixi mencemooh PM Li Peng karena datang terlambat untuk bertemu dengan para demonstran. Akibatnya, Li Peng kehilangan mianzi karena dia terlihat datang terlambat dan menjadi figur pemerintah yang sangat tidak populer di mata kalangan publik Cina, khususnya menyangkut peristiwa Tian’anmen. Konsep serupa juga ditemukan pada kebudayaan Jepang dan Korea.

II.III. Xinyong

Dalam istilah bahasa Inggris, xinyong disebut sebagai gentlemen’s agreement (Cheng, 1985). Xinyong dalam budaya bisnis Cina bermakna sebagai sebuah jaringan antar pribadi.
Bagi orang Cina kepercayaan antar pribadi merupakan hal yang terpenting. Para pengusaha etnis Cina biasanya hanya berhubungan komersial dengan orang yang sudah mereka kenal. Oleh karena itu, reputasi seseorang penting artinya bagi transaksi bisnis. Dahulu, para pebisnis Cina secara pribadi akan berhubungan langsung dengan rekan-rekan bisnisnya, karena hal ini akan meningkatkan kemutlakan peran pemilik di samping tetap menjaga reputasinya sebagai pemilik perusahaan. Fenomena serupa terjadi hingga kini di perusahaan-perusahaan milik etnis Cina di Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, dan lain-lain. Sebaliknya, fenomena di Cina Daratan menunjukkan bahwa kehadiran seorang pemimpin perusahaan dalam sebuah pertemuan bisnis tidak selalu signifikan, karena keputusan final tetap dipegang oleh komune/dewan eksekutif yang belum tentu hadir di pertemuan tersebut, yang bisa saja mengakibatkan suatu pertemuan bisnis dengan tema yang sama dapat terjadi berkali-kali dan mungkin sangat alot bagi pihak asing yang masuk ke dalam lingkaran mereka.

Xinyong dapat tertuang dalam kontrak verbal di suatu transaksi bisnis. Penandatanganan kontrak kadang-kadang tidak diperlukan, biasanya hanya diperlukan dengan badan-badan pemerintah. Persetujuan verbal dianggap sudah cukup. Jika pihak I mengatakan akan melakukan sesuatu maka dia tidak akan ingkar. Bagi mereka ingkar adalah perbuatan yang dapat mencoreng mianzi. Jika tersebar reputasinya akan jatuh dan tidak akan ada lagi yang bersedia bisnis dengannya lagi (atau kehilangan lian).

III. Budaya Bisnis RRC pada Masa Moderen

Angin perubahan pada RRC moderen secara kebudayaan dapat dikatakan dimulai sejak kejatuhan dinasti Qing, yaitu saat pengaruh asing masuk secara masif ke daratan Cina dan mempengaruhi segala aspek kehidupan secara signifikan. Salah satu contohnya adalah dengan diberlakukannya Perjanjian Nanking yang sangat memberatkan bangsa Cina dan mengharuskan Cina untuk membuka diri terhadap dunia luar. Tercatat pada era ini dasar bagi perekonomian dan kebudayaan Cina moderen telah mengalami perubahan yang berarti. Kebudayaan lama mulai ditanggalkan dan nilai-nilai yang dianggap sudah tidak relevan lagi dienyahkan. Salah satu buktinya adalah wusi yundong (peristiwa 4 Mei 1919), yang berusaha menghapuskan Konfusianisme di Cina serta merubah dunia kesusastraan dan sosial-kebudayaan masyarakat Cina. Cina sejak dahulu penuh dengan nilai-nilai revolusioner.

Budaya bisnis Cina moderen sendiri mengalami perubahan yang signifikan sejak era tadi. Secara garis besar, gejolak di Cina pada awal abad kedua puluh memunculkan kelas baru di masyarakat Cina yang disebut dengan kelas komprador. Golongan ini bertugas mewakili hubungan dagang antara pemerintah Cina (saat itu masih dipegang Dinasti Qing) dan pihak Barat atau negara asing lainnya. Saat itu, di tengah-tengah masyarakat sendiri pertentangan konsep antara bisnis dan nilai-nilai patriotisme (bukan lagi nilai moral), masih hangat sekali. Sebagian masyarakat Cina masih mengharamkan bisnis (apalagi) dengan pihak barbar/asing, sebagian lagi marah karena diinjak-injak martabatnya oleh bangsa asing sehingga mereka mencari alternatif-alternatif dalam mengatasi penghinaan semacam ini. Kelas komprador lah yang mengawali sepak terjang Cina dalam dunia bisnis moderen.

Pada perkembangannya ketika kaum komunis mutlak menguasai pemerintahan Cina daratan, dunia bisnis Cina (dalam konteks ini individu maupun badan swasta) untuk sekali lagi kembali ditekan. Segala individu maupun badan swasta yang melakukan bisnis tanpa otorisasi elit kaum komunis pasti akan dicap sebagai antek-antek kapitalis atau dengan kata lain bertentangan dengan nilai-nilai kaum revolusioner. Begitu ekstremnya tindakan kaum revolusioner Cina hingga kesusastraan Cina pun dijadikan alat propaganda untuk mendukung komunisme, salah satunya dengan menyerang para kapitalis atau individu yang dianggap sebagai oposisi. Sejak merdeka (1949) hingga sebelum diberlakukannya gaige kaifang (1979), RRC memeluk “ekonomi terencana secara pusat”, yang menempatkan negara pada posisi sentral. Selama 30 tahun itulah dunia bisnis RRC stagnan.

Baru pada Desember 1978, yaitu ketika Kongres XI Partai Komunis Cina mengesahkan rumusan gaige kaifang atau kebijakan reformasi dan keterbukaan, bisnis RRC kembali menggeliat. RRC masuk pada tahap baru, jauh berbeda dibanding sebelumnya. Bahkan seorang Deng Xiaoping sekalipun menegaskan dalam evaluasinya yang dikeluarkan pada September 1982 : “Kemiskinan bukan sosialisme. Sosialisme berarti melenyapkan kemisikinan.”.

III.I. Demam Bisnis di Cina Moderen

Nilai-nilai bisnis masyarakat Cina berubah luar biasa sejak 1978. Sejak saat itu makin banyak masyarakat yang memandang berkarier di bidang bisnis sebagai profesi yang layak. Media mula-mula menyebut gejala ini sebagai “demam bisnis”. Terlebih pada 1979 sampai 1997, banyak orang Cina memandang bisnis sebagai jalan terbaik untuk memperoleh uang. Situasi ini juga menimpa cendekiawan Cina yang kini memilih bisnis sebagai pilihan karier terbaik dan menantang nilai tradisional yang memandang studi sebagai jalan menuju birokrasi. Pergeseran budaya ini telah menjadi pokok pembicaraan sebagian besar masyarakat Cina.

“Demam bisnis” mula-mula timbul pada 1984, yaitu ketika pasar kerja paruh waktu melibatkan banyak karyawan perusahaan milik negara, petani di pedesaan, mahasiswa, dan beberapa cendekiawan. Ledakan kedua yaitu sekitar tahun 1990, yang ditandai hengkangnya pejabat-pejabat pemerintah, kader partai, dan dosen-dosen perguruan tinggi ke sektor perdagangan.
Gejala yang dipicu oleh perubahan fundamental ini bermakna perubahan yang luar biasa pada pola kepercayaan tradisional rakyat kebanyakan dan cendekiawan Cina. “Demam bisnis” menandai berakhirnya satu nilai sosial yang telah berumur 2.000 tahun, yaitu bahwa menjadi pejabat negara adalah tujuan akhir yang wajar dari perjalanan akademis seseorang. Dalam waktu kurang dari satu generasi, peran ilmuwan/cendekiawan Cina telah bergeser dari penjaga pintu gerbang nilai Konfusian menjadi agen penggerak dan pembela perubahan sosial yang terbesar di Cina.

IV. Budaya Perusahaan Cina Moderen

Globalisasi memacu setiap negara di dunia untuk terus meng-update sistem yang dimilikinya dan bersaing agar dapat terus survive, tidak terkecuali RRC. Terpengaruh oleh pandangan pemikir dan praktisi manajemen Barat, sejumlah manajer senior Cina mulai menimbang-nimbang kemungkinan untuk mengembangkan budaya perusahaan yang khas Cina untuk masa kini. Mereka menilai bahwa model yang baru harus menyempurnakan budaya tradisional maupun budaya perekonomian pasar yang kompetitif dan sedang berkembang. Sejak saat itu, muncullah identitas perusahaan Cina yang unik. Identitas tersebut mencerminkan budaya tradisional Cina dan nilai-nilai moderen yang dipengaruhi oleh perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang sangat cepat. Berikut beberapa aspek unik tersebut:

1. Susunan Organisasi - “Dua Kendali”

Perbedaan terbesar antara susunan organisasi kebanyakan perusahaan di Cina dan semua perusahaan Barat adalah adanya sistem manajemen pararel di perusahaan Cina. Yang pertama adalah sistem administrasi dan yang kedua adalah struktur kepemimpinan internal yang melibatkan orang-orang di lingkungan Partai Komunis. Manajer Cina sering menyebut sistem ini sebagai sistem “dua kendali”. Sebelum Reformasi Perusahaan pada tahun 1984, seorang sekretaris Partai Komunis mengawasi semua perusahaan Cina. Setelah 1984, seorang manajer umum juga diberi tanggung jawab mengelola perusahaan. Sejak saat itu sekretaris Partai Komunis dan manajer umum dituntut untuk memikul tanggung jawab yang sama (sistem pararel). Dengan sistem pararel, Partai Komunis mempunyai wakil hampir di setiap badan usaha milik negara, perusahaan bersama, dan perusahaan patungan. Tanggung jawab pokok Partai Komunis adalah mengawasi dan menjamin arah strategi perusahaan serta turut serta dalam pengambilan keputusan penting, terutama yang menyangkut karyawan. Di beberapa perusahaan kecil, direktur eksekutif bisa saja merangkap menjadi pimpinan perusahaan sekaligus sekretaris Partai Komunis. Akan tetapi, di kebanyakan perusahaan milik negara dan usaha patungan besar, jabatan direktur eksekutif dan sekretaris Partai Komunis dipegang oleh orang yang berbeda. Penerapan sistem pararel sering menimbulkan beda pendapat di antara kedua manajemen itu.

2. Fungsi Organisatoris - “Masyarakat Kecil”

Salah satu ciri manajemen Cina yang menonjol adalah peranan organisasi yang sangat besar dalam kehidupan, baik profesional maupun pribadi para karyawan. Kebanyakan perusahaan di Cina tidak hanya memberi kesempatan kerja dan gaji kepada para karyawan, tetapi juga harus menyediakan segala macam keperluan materiil karyawan termasuk asuransi kesehatan, perumahan, perawatan anak, sekolah, dan hiburan. Bahkan, beberapa perusahaan besar milik negara membuka toko eceran di sekitar lingkungan kerja untuk melayani para karyawan. Fungsi organisatoris perusahaan Cina serupa dengan fungsi suatu masyarakat kecil. Kebanyakan perusahaan Cina (setidaknya karyawan BUMN) mengetahui dengan jelas bahwa perusahaan yang dapat dipercaya harus memperhatikan semua segi kehidupan karyawan, termasuk lingkungan kerja dan keluarga mereka. Di samping menangani masalah pengembangan dan dan operasi perusahaan sehari-hari, seorang direktur eksekutif harus menyediakan banyak waktu dan tenaga untuk membina kesejahteraan pribadi para karyawan. Seorang direktur eksekutif yang dapat dipercaya harus terampil memimpin tim manajemen yang bertanggung jawab atas pusat perawatan anak, penyediaan fasilitas perumahan yang terbatas, dan mengatur penyediaan makanan pada kesempatan istimewa dan pesta-pesta. Bahkan, ia diharapkan bisa meredakan perselisihan keluarga atau antarpribadi yang serius. Peranan seorang manajer senior di perusahaan Cina sangat rumit.

3. Nilai-nilai perusahaan Cina

Manajemen perusahaan di Cina masih terpengaruh oleh nilai-nilai Konfusian, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui sosialisasi dalam keluarga. Walaupun pemerintah berusaha meniadakan nilai-nilai lama melalui Revolusi Kebudayaan (1964-1976), pengaruh itu masih kuat hingga kini.

Berikut beberapa karakteristik yang menjadi nilai-nilai perusahaan Cina tersebut :

• Orientasi Manajemen pada “Prestasi Bersama”
Para manajer Cina memegang teguh prinsip berorientasi pada kelompok atau kepentingan bersama. Tuntutan atas pengakuan prestasi individu biasanya ditolak. Meskipun penelitian terakhir menyebutkan bahwa motivasi karyawan Cina untuk mengukir prsetasi diri menguat sejak pertengahan dekade 1990-an, tapi sikap berorientasi pada kelompok ini masih menjadi hal yang utama dalam manajemen perusahaan. Para manajer yang menganut etika manajemen non-kompetitif ini, tetap berpandangan bahwa setiap individu hendaknya bekerjasama secara selaras dengan yang lainnya sehingga mendukung organisasi tersebut.

• Ketidakpercayaan dalam organisasi

Dalam banyak organisasi para manajer Cina tidak sepenuhnya mempercayai bawahan, antara lain karena alasan nilai hierarkis. Mereka menganggap organisasi sebagai sistem keluarga . Dari sudut pandang budaya, menurut sistem ini bawahan diperlakukan sebagai “anak-anak” yang bergantung dan tidak dapat dipercayai sepenuhnya. Di sisi lain, manajer umum Cina dipandang sebagai “orangtua” yang harus menjaga dan mengawasi “anak-anak”-nya. Oleh karena itu, banyak perusahaan di RRC yang dijalankan hanya oleh satu figur ayah yang kuat. Segala keputusan penting perusahaan diambil secara mutlak oleh senior/para manajer atas perusahaan.

• Kerjasama berdasarkan kepatuhan dan pentingnya keserasian hubungan

Para manajer Cina bekerja dalam lingkungan kerja yang semi otoriter. Dengan sistem manajemen yang top-down itu, para bawahan diharapkan tunduk sepenuhnya dan menjalankan instruksi manajer mereka dengan sungguh-sungguh. Kompromi dan kepatuhan bawahan merupakan nilai budaya Cina yang fundamental. Pada dimensi yang sama, hubungan ini diharapkan dapat selalu selaras sehingga mendukung operasional organisasi tersebut. Oleh sebab itu, para manajer Cina seringkali lebih banyak memperhatikan hubungan pribadi di lingkungan kerja dibanding tugas yang ada. Pada dimensi yang lebih luas, konsep guanxi selalu menjadi acuan utama perusahaan dalam interaksinya dengan organisasi lain.

V. Budaya Bisnis RRC, Globalisasi, dan Semangat Kebanggaan Nasional

Cina adalah salah satu bangsa tertua di dunia yang memiliki harga diri dan martabat yang tinggi. Sejarah panjang yang terukir dalam perjalanan peradaban mereka mencerminkan dinamika kebudayaan yang lahir dan mati seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu, tidak heran jika perubahan selalu terjadi. Berbagai kejadian domestik hingga internasional yang mempengaruhi, terbukti menempa masyarakat Cina untuk selalu beradaptasi dengan sekitarnya.

Masih hangat di benak kita saat Deng Xiaoping mengumumkan kebijakan pintu terbukanya pada 1979, khalayak RRC sekali lagi terhentak oleh angin perubahan. Di daratan Cina masyarakat setempat begitu antusiasnya meneriakkan slogan reformasi. Bagaimana mungkin sebuah negara komunis totaliter yang identik dengan ejekan “Tirai Bambu” ini, tiba-tiba saja menyulap negaranya menjadi sebuah pasar ekonomi bebas hampir serupa dengan para seterunya, negara-negara Barat penganut kapitalisme? Ada dua hal signifikan yang dapat menjelaskan fenomena ini: Globalisasi dan kebanggaan nasional.

Dalam dunia moderen yang semakin sempit ini, RRC melakukan terobosan-terobosan baru dalam menjaga eksistensinya. Hal ini sangat erat berkaitan dengan globalisasi. Perlu diketahui, bahwa RRC merupakan pemain lama dalam globalisasi. Hal ini sudah dilakukannya sejak awal abad Masehi dengan dibukanya jalur sutra, dan pada Dinasti Ming mengirimkan banyak ekspedisi ke luar negri. Hanya saja, RRC dengan paradigma-nya yang inward-looking, memiliki cara yang unik dalam menjalankan globalisasi. Ketika dunia asing (Barat) menyentuh teritori dan otoritas Cina secara masif pada akhir abad ke-19, Cina mengalami perubahan yang drastis. Konsep monarki runtuh dan digantikan dengan konsep yang lebih moderen; demokrasi republik. Perkembangan terakhir yang kita ketahui kini, RRC menjalankan ekonomi pasar sosialis-nya. Menurut para elit politbiro RRC, Cina saat ini sedang mengalami tahap awal sosialisme.

Kedua, semangat kebanggaan nasional. Ketika Cina dijajah dan “dibagi-bagi” oleh bangsa Barat (juga Jepang) pada awal abad ke-20, kebencian terhadap bangsa asing semakin menjadi-jadi. Pihak Cina yang dipimpin oleh Sun Yat Sen berhasil merobohkan dinasti Qing dan mengarahkan Cina ke arah kemerdekaan dengan konsep negara yang lebih moderen dan relevan. Sangat disayangkan bahwa agresi Jepang dan konflik domestik (pertentangan kaum nasionalis-komunis) pada era ini, harus menunda kemerdekaan Cina. Setelah merdeka pada 1949, kaum komunis yang memimpin RRC, mutlak tampil sebagai penguasa tunggal. Rakyat RRC di bawah kepemimpinan Mao Zedong dipenuhi oleh gelombang “kediktatoran proletariat”, yang muncul sebagai semangat sosial dalam menghadapi kekuatan asing di Cina. Akibatnya, segala hal yang berbau Barat (atau produk kapitalisme) secara ekstrem dilarang dan dienyahkan. Dunia bisnis RRC dikontrol secara terpusat oleh pemerintah. Baru pada era Deng, RRC memeluk pendekatan yang berbeda dalam menghadapi globalisasi, namun masih dengan isu yang sama; kebanggaan nasional. RRC mencapai keajaiban ekonomi yang menakjubkan dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil. Ladang bisnis pun digarap secara serius oleh pemerintah dan dibuka luas untuk orang asing.

Dari sudut pandang budaya, RRC saat ini mengalami begitu banyak perubahan, akan tetapi tidak semuanya merupakan nilai-nilai kebudayaan asing yang diadaptasi. Pada budaya bisnisnya, tidak sedikit orang Cina yang mensikretiskan nilai-nilai lama dengan nilai bisnis moderen. Ini semua tercermin dalam elemen kebudayaan yang muncul dalam interaksi dan operasional perusahaan / organisasi mereka.

BIBLIOGRAFI

Boisot, M. & Child J. From fiefs to clans and network capitalism: Explaining China’s emerging economic order. USA : Administrative Science Quarterly, 2000.
De Dreu, C. & Van de Vliert, E. Using conflict in organizations. Beverly Hills, CA : Sage, 1997.
Ding, D.Z. In Search of Determinants of Chinese Conflict Management Styles in Joint Ventures: An Integrated Approach. Paper, City University of Hongkong : Hongkong, 1996.
Fishman, Ted. C. China Inc. USA : Simon & Schuster Inc, 2005.
Henderson, Callum. China on The Brink. Singapore : McGraw-Hill, 1999.
http://chinese-school.netfirms.com
http://en.wikipedia.org
Kirkbride, P.S. Tang, S.F.Y. & Westwood, R.I. Chinese conflict preferences and negotiating behaviour: Cultural and Psychological influences. Organizational Studies, 12, 365-386, 1991.
Levy, Marion J., Jr & Guo Hengshi. The Rise of The Modern Chinese Business Class. New York : Institute of Pacific Relations, 1949.
Morse, H.B., The Guilds of China. New York: Longmans, Green and Company, 1932.
Triandis, H.C., McCusker, C. & Hui, C.H. Multimethod probes of individualism and collectivism. Journal of Personality and Social Psychology, 1990.
Whiteley, A. (Juli 2004). Mengelola Bisnis Pendidikan dalam Konteks Budaya Cina. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Juli 2004.
Wibowo, I. Belajar Dari Cina. Jakarta : Penerbit Buku Kompas, Januari 2004.
Yuan, Wang & Goodfellow, Rob. & Xin ShengZhang. Menembus Pasar Cina. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, Agustus 2000.

Ditulis oleh: Denis L. Toruan

http://fikirjernih.blogspot.com/2010/03/budaya-bisnis-rrc-pada-era-globalisasi.html

Penemu Tenda


Pernah terpikirkan oleh ku siapa ya yang menemukan tenda itu, sering benar dipakai, tapi tidak pernah terbersit untuk menanyakan pada seseorang yang suka juga berkemah, hebat benar dia punya ide menciptakan rumah kedua untuk berpetualang diluar rumah & dia benar-benar hebat karena hingga kini tenda masih tetap exist walaupun telah mengalami perombakan & variasi model, bahan serta kegunaannya.

Tenda berkemah manusia adalah salah satu prestasi terbaik. Tidak hanya sebagai tempat penampungan sederhana namun efektif, portable dan tahan lama. Ternyata tenda dikenalkan oleh kelompok - kelompok dari Roma, Yunani, Persia bentuknya efektif dan dapat dibongkar dengan cepat. Tenda oleh bangsa-bangsa itu untuk keperluan perang mereka mendirikan nya di perbatasan tanah, Model lama sebuah tenda akhirnya dibuang dan akhirnya tahun ‘70 ‘dimulai. Dengan ini dekade baru datang teknologi baru, terutama di dunia tenda. Alih-alih menggunakan bahan-bahan bingkai tradisional mereka mulai bereksperimen dengan bahan-bahan yang lebih kuat seperti logam. Logam ini berkisar dari alumunium yang ringan namun kuat untuk batang tipis dari stainless steel. Setelah frame mulai tampak lebih kuat dan lebih portabel mereka mulai merevolusi setengah dari tenda penutup.

Akhir diketahui juga tenda dikenalkan oleh bangsa Romawi untuk dibawa sebagai bagian dari berperang, rupanya begitu, pantesan di film-film klasik dibangun tenda-tenda sebagai tempat mereka berteduh, menyiapkan rencana perang maupun rumah sakit apabila ada tentaranya yang terluka, sampai saat ini pun tenda dapat diperguanakn untuk hal-hal seperti itu berperang, menyiapkan rencana perang maupun rumah sakit, seperti di film-film hollywood, ternyata orang-orang dimasa lalu, memang smart, penuh idenya untuk kemajuan jaman yang dituruti dan dikembangkan di masa sekarang.

Sumber
http://tenda.dagdigdug.com

Pengertian dari Cagar Budaya



Benda cagar budaya adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagian atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; dan benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (UU No. 5/1992 Pasal 1).

Kejadian-kejadian terhadap benda cagar budaya di Kota Solo, yang menyebut dirinya sebagai kota budaya, adalah fenomena yang sangat menarik untuk menjadi sebuah perenungan dalam melestarikan peninggalan budaya yang kita miliki. Kita memiliki banyak sekali peninggalan budaya yang menjadi sumber ilmu pengetahuan dan saksi keberadaan bangsa ini. Misalnya gedung-gedung bersejarah, monumen, prasasti, naskah lama, candi, situs-situs purbakala, bangunan istana/keraton, dll. Peninggalan-peninggalan itu merupakan sumber ilmu pengetahuan dan sejarah bangsa yang tidak ternilai harganya. Sejarah emas dan kelam tercatat dalam peninggalan-peninggalan itu. Ilmu pengetahuan asli peninggalan nenek moyang, ciri khas sebuah bangsa yang pernah hidup sebelum kita, dan catatan dari masa ke masa tergores di dalamnya. Cagar budaya seringkali dijadikan lambang dan simbol harga diri sebuah bangsa. Bagaimanakah nasib cagar budaya milik kita kini?

Sosialisasi


Pemerintah telah berusaha melindungi cagar budaya dengan mengeluarkan UU No 5/1992. Secara teori UU No 5/1992 cukup kuat sebagai pelindung cagar budaya yang kita miliki terhadap ancaman kerusakan. Realitas memperlihatkan kerusakan dan hilangnya banyak cagar budaya yang kita miliki semakin parah. Meskipun Undang-undang tersebut juga menyebutkan batasan, hak, kewajiban, dan hukumannya bagi orang yang melanggarnya. Namun sampai sekarang masih banyak benda cagar budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia hilang dan rusak. Penjualan terhadap benda purbakala di Sangiran; Penggalian terhadap prasasti batu tulis; penggalian situs Khayangan, Kabupaten wonogiri; dijualnya tanah negara bersitus budaya pada pihak investor; pencurian benda cagar budaya (BCB) di Candi Miri Dusun Nguwot, Kalurahan Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta; merupakan contoh kecil semakin rusak cagar budaya yang kita miliki dan rendahnya perhatian kita terhadap perlindungan dan pengelolaan cagar budaya. Di Kota Solo juga banyak cagar budaya yang hilang atau rusak, bahkan sudah berganti bangunan. Misalnya, benteng Vastenberg, bekas gedung Karesidenan, bekas pelabuhan di pinggir Bengawan Solo, pabrik gula Colomadu, Balekambang, dan masih banyak lagi.

Secara praktis kita belum melihat tindakan tegas dan jelas untuk melaksanakan dan menegakkan Undang-undang tersebut. Pada Pasal 26 UU No.5/1992 disebutkan “Barangsiapa dengan sengaja merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk dan/atau warna, memugar, atau memisahkan benda cagar budaya tanpa izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”. Sangsi yang diajukan dalam UU No 5/1992 tersebut cukup jelas dan tegas. Namun banyak kasus yang melanggar Undang-undang tersebut tapi tidak ada penyelesaian yang jelas. Pertanyaan-pertanyaan sering muncul, salah siapakah ini? Mengapa sampai terjadi? Apakah sengaja atau tidak tahu? Kalau tidak tahu apa sebabnya? Dan masih banyak pertanyaan lain yang terlontar berkaitan dengan kejadian-kejadian itu.
Tidak banyak yang mengetahui -Warga Solo maupun warga Indonesia pada umumnya- jika ditanya tentang apa cagar budaya, apa manfaatnya, apa hak dan kewajiban yang berkaitan dengan cagar budaya itu, bagaimana hukumannya jika menghilangkan, merusak atau memperdagangkannya dengan sengaja. Hanya beberapa pemerhati cagar budaya yang mungkin mengetahuinya. Bisa dipertanyakan juga apakah orang-orang di dinas yang terkait dengan cagar budaya mengetahui bentuk dan isi dari UU No.5/1992 itu. Amat disayangkan jika hal-hal yang penting seperti ini sampai tidak tersosialisasikan. Baik di lingkungan pemerintah maupun pada masyarakat luas. Hasil minimal dengan tersosialisasikannya tentang keberadaaan Undang-undang cagar budaya itu masyarakat luas akan mengetahui cagar budaya yang dimilikinya. Dengan begitu masyarakat akan mudah untuk diajak bekerja sama dalam menjaga dan melestarikannya. Masyarakat akan merasa ikut memiliki dan merasa bertanggungjawab melestarikannya.

Sebuah contoh kecil akibat kurangnya sosialisasi UU cagar budaya yang terjadi di Kota Solo maupun yang lain. Kepala dan pejabat pemerintahan di tingkat terkecil (desa), masih jarang yang mengetahui cagar budaya yang ada di wilayahnya. Padahal itu menjadi salah satu landasan bagi perkembangan kehidupan di wilayahnya. Dengan mngetahui landasan yang mendasari perkembangan masyarakatnya dari masa ke masa, maka langkah yang ditempuh untuk memajukan daerah akan lebih tepat. Karena di situ akan ditemukan tanda-tanda yang selalu ada di setiap masa, baik kesalahan maupun kemajuan. Masyarakatnya dengan enteng membongkar dan menghilangkan cagar budaya yang ada di lingkungannya. Seakan benda itu tidak berguna dan bermanfaat. Bagaimana bisa desa tersebut mau menjalankan programnya tanpa mengetahui landasan atau pondasi yang membangun perkembangan masyarakatnya? Pertanyaan ini bukanlah sebuah kalimat yang membutuhkan jawaban, namun membutuhkan perenungan.

Pernyataan-pernyataan di atas sedikit menunjukkan betapa pentingnya arti sosialisasi bangi keberadaan sebuah undang-undang, dalam hal ini Undang-undang cagar budaya. Banyak cara dilakukan untuk mensosialisasikan keberadaan sebuah perundang-undangan pada masyarakat. Misalnya melalui media-media cetak lokal, media-media elektronik lokal maupun nasional, rapat-rapat pejabat pemerintahan, rapat-rapat warga, penyuluhan-penyuluhan khusus, dan lain-lain. Sosialisasi keberadaan sebuah perundang-undangan juga merupakan hal penting untuk disampaikan di samping masalah lain yang dibahas selama ini.

Benda cagar budaya tidak saja menjadi saksi adanya proses sejarah dan budaya pada masa silam, tetapi merupakan warisan sejarah dan budaya bangsa. Satu satu fungsinya adalah sumber nilai dan informasi sejarah, disamping mencerminkan jati diri dan kepribadian budaya bangsa. Benda cagar budaya penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Belum semua benda cagar budaya dapat dilindungi dan dilestarikan. Dibutuhkan sikap positip segenap lapisan masyarakat, untuk berperan bersama pemerintah melestarikan benda cagar budaya, baik secara preventif, represif maupun partisipatif. Kebudayaan masa lampau itulah tempat berakar dan berpijaknya pandangan hidup dan cita-cita bangsa kita dewasa ini (Panuti Sudjiman, Filologi Melayu, halaman 46).


Perda Cagar Budaya

Dalam pelaksanaannya sebuah undang-undang memerlukan perundang-undangan yang lain untuk menjabarkan dan sebagai petunjuk pelaksanaan serta teknis undang-undang tersebut. Seperti halnya juga UU No 5/1992 ini memerlukan perundang-undangan yang lain untuk mendukung dan menjabarkan pelaksanaannya. Di samping itu dikarenakan jumlah, bentuk,dan macam cagar budaya banyak serta latar belakang masyarakat yang berbeda, maka di masing-masing daerah diperlukan perundang-undangan lain sebagai pendukung pelaksanaan Undang-undang tersebut.

Di Kota Medan telah dikeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 1988 mengenai Perlindungan Bangunan di Kota Medan. Menrujuk Tahun dikeluarkannya, Perda tersebut dikeluarkan justru sebelum Undang-Undang No.5 Tahun 1992 dikeluarkan. Hal ini menunjukkan kepedulian pemerintah Medan pada aset daerahnya yang besar. Dengan dikeluarkannya perda tersebut akan melindungi seluruh bangunan bersejarah yang ada di kota Medan. Meskipun hanya sebatas bangunan, namun ini sudah merupakan langkah preventif pemerintah Kota Medan untuk melindungi salah satu cagar budaya yang ada di kota itu. Sedangkan di Blitar usulan Perda cagar budaya sudah disiapkan dan diusulkan tahun 2001.

Di Kota Solo meskipun baru sampai tahap gagasan pembuatan perda cagar budaya, namun hal ini perlu kita dukung agar secepatnya terealisasi. Hal ini perlu kita lakukan untuk mencegah kerusakan yang lebih parah lagi pada cagar budaya yang ada di kota Solo ini. Dukungan dalam bentuk apapun, akan berguna bagi proses penyusunan raperda cagar budaya. Agar Masyarakat merasa melu handarbeni atas aset budaya masyarakat Solo, maka penyusunan perda cagar budaya itu perlu melibatkan berbagai elemen masyarakat kota Solo. Dari sinilah seluruh lapisan masyarakat akan mulai merasa ikut memiliki dan bersama-sama melestarikan cagar budaya yang menjadi kebanggaan dan ciri khas masyarakat Solo.

Kota Solo sering dijadikan barometer nasional, dalam banyak hal. Politik, ekonomi, seni dan budaya. Ditambah dengan keberadaan dua istana yang benar-benar merupakaan bukti keberadaan sejarah masa lalu dan sumber ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh warga masyarakat Surakarta. Langkah yang telah ditempuh oleh pemerintah kata, harus segera dilanjutkan hingga sampai pengesahan perda cahar budaya kota Solo. Sikap positip pemerintah dan segenap lapisan masyarakat, untuk berperan bersama dalam melestarikan benda cagar budaya, baik secara preventif, represif maupun partisipatif, sangat dibutuhkan. Harapannya semoga di tahun yang akan datang ini segera disusun dan disyahkan perda cagar budaya partisipatif warga masyarakat Solo agar kelak masyarakat Solo dan masyarakat luas masih bisa dan selalu bisa menggali ilmu pengetahuan dari bangsanya sendiri.

Siapa Penemu Telepon ?



Alexander Graham Bell, pria Amerika Serikat yang disebut-sebut sebagai penemu telepon, kini diusik kedudukannya. Seorang pria Jerman diklaim telah menemukan telepon, 15 tahun sebelum Bell.

Telepon, alat komunikasi asal Jerman yang mulai diproduksi pada tahun 1863 ini, ternyata dipermasalahkan siapa penemu sesungguhnya. Ketika itu, telah ada dokumen yang berisi file-file yang merupakan bukti bahwa “Telephon” buatan ilmuan asal Jerman, Philipp Reis, telah berhasil mentransmisi dan menerima suara.

Disampaikan BBC, Senin (01/12/2003), diduga seorang pengusaha asal Inggris, Sir Frank Gill, ada di balik penyembunyian bukti tersebut.

Dokumen itu berisi sejumlah file dari arsip sebuah museum di London, Science Museum. Dokumen tersebut ditemukan kembali pada bulan Oktober oleh kurator bagian komunikasi dari museum tersebut, John Liffen.

Kilas Balik
Gill merupakan pimpinan perusahaan Standard Telephones and Cables (STC), sebuah perusahaan yang melangsungkan proses testing terhadap alat hasil temuan Reis.
Ketika itu, STC menerima tawaran kontrak dari American Telephone and Telegraph Company, perusahaan yang dikembangkan dari Bell Company.

Gill berpikir bahwa jika dunia mengetahui hasil tes tersebut, itu akan menenggelamkan kesempatan STC untuk memenangkan kontrak.

Sebuah memo, tertanggal 18 Maret 1947, dari Gerald Garrat, pendahulu Liffen, menunjukkan bahwa laporan STC mengenai alat temuan Reis tersebut diberikan pada dirinya disertai ancaman bahwa dokumen tersebut tidak akan pernah muncul di khalayak ramai atau dipublikasikan tanpa ijin.

Pada surat berikutnya, Garrat menulis: “Saya pergi dengan pikiran bahwa ada sesuatu yang sangat rahasia tentang dokumen tersebut yang akan menjadi sejarah kelas satu.”
“Kalian harus tahu seperti halnya saya tahu sebuah kontrofersi lama: ‘Apakah Bell menemukan telepon?’ Dan saya menyimpan sebuah dokumen setebal lebih dari 400 halaman yang membuktikan sebuah kesimpulan penting bahwa dia bukan penemunya.”

Pada tahun 1955, LC Pocock, seorang peneliti dari laboratorium STC, menulis surat untuk Garrat, menjelaskan: “Keputusan (Frank Gill) tersebut dilakukan karena dirinya tidak ingin nama STC dilibatkan dalam kontroversi yang mungkin muncul di kemudian hari berkenaan dengan alat temuan Reis.”

“Telephon”, alat hasil temuan Reis dapat mentransmisikan suara dengan
sangat jelas. Alat tersebut dapat menerima suara berkualitas bagus, tapi dengan efisiensi yang sangat rendah.

“Jika telepon (telephone), diartikan sebagai peralatan yang memungkinkan kita untuk berkomunikasi dalam jarak dekat, maka Reis-lah yang menemukan telepon,” kata Liffen.
Ilmuan Amerika kelahiran Skotlandia, Alexander Graham Bell, sering kali disebut-sebut sebagai yang pertama kali berhasil mentransmisikan suara dari satu titik ke titik lainnya pada tahun 1876. Namun kemudian, banyak klaim berkaitan dengan “yang pertama di dunia”.

Peneliti-peneliti seperti Antonio Meucci dan Elisha Gray juga merupakan orang yang dikenal pernah membuat perlatan pentransmisi suara, di jaman yang sama dengan Bell dan Reis. Kalau begitu, siapa penemu telepon sebenarnya ? (nks)

Sumber
Reporter : Ni Ketut Susrini
detikcom - Jakarta,
[http://www1.detik.com/printing/index.html?idArtikel=215888]

Apa Itu Ekuitas Merek/Brand Equity?


Ekuitas merek pemasaran (Brand Equity) adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada dampak pemasaran produk tertentu berkaitan dengan sebuah nama merek. Akan mencoba untuk mengkaji bagaimana suatu produk tertentu akan tampil di pasar jika tidak memiliki hak istimewa atas nama merek. 

Oleh karena itu, dasar bagi ekuitas merek dan dampaknya pada bisnis didasarkan pada pengetahuan pelanggan tentang produk tersebut. Namun, merek memainkan peran penting dalam membantu membangun pengetahuan dan kesadaran, serta pilihan-pilihan yang mereka buat berdasarkan pengetahuan itu.

Ekuitas merek, maka, memperkuat pentingnya nilai merek dalam promosi bisnis online maupun offline dan menghasilkan jenis positif mengingat dalam pikiran konsumen. Riset pemasaran telah menunjukkan bahwa ekuitas merek adalah salah satu aset yang paling penting bagi perusahaan.


Sumber
http://promosi.dagdigdug.com

Pisau Swiss Army Kini Dilengkapi "Memory Stick"



Untuk pertama kalinya pisau Swiss Army buatan Victorinox dilengkapi memory stick, tidak hanya pisau, gunting, dan alat lainnya. Selain itu, memori yang digunakan diklaim sangat aman dan tak bisa ditembus hacker.

Saking percaya diri, Victorinox sampai menjanjikan hadiah 100.000 poundsterling bagi siapa saja bisa menembus sistem keamanan memory stick tersebut saat meluncurkannya di London, pekan lalu. Namun, ternyata tak ada yang sanggup melakukannya.

Pengamanan memori tersebut memang berlapis-lapis, mulai dari pengenal sidik jari, sensor panas tubuh, hingga enkripsi AES256. Juga ditambah penggunaan Platform Schnuffi pada teknologi cip tunggal yang dipatenkan Victorinox.

Pisau yang diberi nama Secure Pro ini tersedia dalam pilihan dengan memori 8 GB hingga 32 GB seharga antara 50-180 poundsterling. Selain memory stick, perkakas yang ada di dalamnya, antara lain, lampu LED warna putih sebagai penanda, pisau, bolpoin, gunting, gunting kuku, obeng, dan gantungan.


Sumber
LONDON, KOMPAS.com

Besi, Apakah itu ???

Besi, Apakah itu ???


Besi mempunyai simbol Fe dan nombor atom 26. Besi merupakan logam yang berada dalam kumpulan 8 dan kala (period) 4. Besi adalah logam paling banyak dipercayai membentuk unsur bumi, Besi adalah logam yang dihasilkan dari bijih besi, dan jarang dijumpai dalam keadaan unsur bebas.

Sebagian dari bentuk yang dibentuk oleh besi termasuk:
• Besi mentah atau Pig iron yang mengandungi 4% – 5% karbon dengan sejumlah bendasing seperti belerang, silikon dan fosforus. Kepentingannya adalah ia merupakan perantaraan daripada bijih besi kepada besi tuang dan besi waja.
• Besi tuang (Cast iron) mengandungi 2% – 3.5% karbon dan sejumlah kecil mangan. Bendasing yang terdapat di dalam besi mentah yang dapat memberikan kesan buruk kepada sifat bahan, seperti belerang dan fosforus, telah dikurangkan kepada tahap boleh diterima. Ia mempunyai takat lebur pada julat 1420–1470 K, yang lebih rendah berbanding dua komponen utamanya, dan menjadikannya hasil pertama yang melebur apabila karbon dan besi dipanaskan serentak. Sifat mekanikalnya berubah-ubah, bergantung kepada bentuk karbon yang diterap ke dalam aloi. Besi tuang ‘putih’ mengandungi karbon dalam bentuk cementite, atau besi karbida. Sebatian keras dan rapuh ini mendominasi sifat-sifat utama besi tuang ‘putih’, menyebabkannya keras, tetapi tidak tahan kejutan. Dalam besi tuang ‘kelabu’, karbon hadir dalam bentuk serpihan halus grafit, dan ini juga menyebabkan bahan menjadi rapuh kerana ciri-ciri grafit yang mempunyai pinggir-pinggir tajam yang merupakan kawasan tegasan tinggi. Jenis besi kelabu yang baru, yang dinamakan ‘besi mulur’, adalah dicampur dengan kandungan surih magnesium untuk mengubah bentuk grafit menjadi sferoid, atau nodul, lantas meningkatkan ketegaran dan kekuatan besi.
Keterangan Umum Unsur Nama, Lambang, Nomor atom besi, Fe, 26 Deret kimia logam transisi Golongan, Periode, Blok 8, 4, d Penampilan metalik mengkilap
keabu-abuan
Massa atom 55,845(2) g/mol Konfigurasi elektron [Ar] 3d6 4s2 Jumlah elektron tiap kulit 2, 8, 14, 2 Ciri-ciri fisik Fase padat Massa jenis (sekitar suhu kamar) 7,86 g/cm³ Massa jenis cair pada titik lebur 6,98 g/cm³ Titik lebur 1811 K
(1538 °C, 2800 °F) Titik didih 3134 K
(2861 °C, 5182 °F) Kalor peleburan 13,81 kJ/mol Kalor penguapan 340 kJ/mol Kapasitas kalor (25 °C) 25,10 J/(mol•K)

Tekanan uap

P/Pa 1 10 100 1 k 10 k 100 k
pada T/K 1728 1890 2091 2346 2679 3132
Ciri-ciri atom Struktur kristal kubus pusat badan Bilangan oksidasi 2, 3, 4, 6
(oksida amfoter) Elektronegativitas 1,83 (skala Pauling) Energi ionisasi pertama: 762,5 kJ/mol ke-2: 1561,9 kJ/mol ke-3: 2957 kJ/mol Jari-jari atom 140 pm Jari-jari atom (terhitung) 156 pm Jari-jari kovalen 125 pm Lain-lain Sifat magnetik feromagnetik Resistivitas listrik (20 °C) 96,1 nΩ•m Konduktivitas termal (300 K) 80,4 W/(m•K) Ekspansi termal (25 °C) 11,8 µm/(m•K) Kecepatan suara
(pada wujud kawat) (suhu kamar) (elektrolitik)
5120 m/s Modulus Young 211 GPa Modulus rigiditas 82 GPa Modulus ruah 170 GPa Nisbah Poisson 0,29 Skala kekerasan Mohs 4,0 Kekerasan Vickers 608 MPa Kekerasan Brinell 490 MPa Isotop
iso
NA
waktu paruh
DM
DE (MeV)
DP

54Fe 5,8% >3,1E22 tahun penangkapan 2ε ? 54Cr

55Fe syn
2,73 tahun penangkapan ε 0,231 55Mn

56Fe 91,72% Fe stabil dengan 30 neutron

57Fe 2,2% Fe stabil dengan 31 neutron

58Fe 0,28% Fe stabil dengan 32 neutron

59Fe syn
44,503 hari β
1,565 59Co

60Fe syn
1,5E6 tahun β-
3,978 60Co

http://ms.wikipedia.org/wiki/Besi

Rotary Kiln
Rotary Kiln merupakan fasilitas untuk membuat sponge dengan menggunakan bahan baku lokal.
Proses pembuatan sponge adalah suatu proses melepaskan oksida dari bijih besi.
Setelah terjadi reduksi maka akan terjadi poros/keropos pada bagian dalam karena oksigen yang ada dalam bijih besi keluar. Jika dilihat dengan mikroskop maka akan terjadi bentuk seperti rumah tawon/busa spons, oleh sebab itu bijih besi ini dinamakan besi spons.
Setelah dilakukan studi kelayakan pemilihan teknologi menggunakan Rotary Kiln, PT Krakatau Steel memulai pilot plant pembuatan Rotary Kiln berkapasitas 5 ton per hari pada bulan Agustus 2006. Sukses mengoperasikan dan mengukur kelayakan, maka pada bulan Mei 2007 dicanangkan pembuatan Rotary Kiln dengan kapasitas yang lebih besar yaitu 50 ton per hari. Pada bulan Agustus 2007 pembuatan Rotary Kiln kapasitas 50 ton per hari dapat diselesaikan dan dioperasikan.
Kualitas besi spons tergantung dari derajat metalisasi yaitu rasio besi yang menjadi metal dengan jumlah besi dalam produk.
Tipikal produk besi sponge dari Reduktor Bijih Besi/Rotary Kiln adalah sebagai berikut:

Unsur Pokok Prosentase
Chemical
Fe, Total 90-92
Fe, Metallic 81-84
Metallisation 90 (±2)
Sulphur 0.03 max
Phosphorus 0.05 max
Carbon 0.10 max
Physical
Size Lump +3 mm
Fines -3 mm
Bahan Baku
Karakteristik bahan baku merupakan hal yang sangat sensitif dalam pembuatan sponge iron. Karakteristik kimia dan fisik merupakan faktor yang penting pada Rotary Kiln.
1. Coal
Reduktor yang digunakan pada proses Rotary Kiln adalah batu bara, mulai dari jenis antrasit sampai lignite. Tiap jenis batu bara memerlukan adaptasi operasi Rotary Kiln terutama dalam hal rasio antara bijih besi dan jumlah reduktor yang dibutuhkan. Untuk penggunaan batu bara dengan kandungan kalori rendah, diperlukan tambahan bahan bakar seperti gas alam atau bahan bakar cair, untuk menjaga profil temperatur yang dibutuhkan dalam proses. Berdasarkan data tersebut maka banyak batu bara Indonesia memenuhi persyaratan sebagai bahan pereduksi.
2. Iron Ore
Bahan baku pabrik Rotary Kiln cukup fleksibel bisa berupa iron ore pellet, lump ore, atau pasir besi. Kandungan Fe minimum 53% dan kandungan gangue maksimum 5%.
3. Dolomite
Batu kapur digunakan sebagai bahan aditif pada proses reduksi bijih besi di Rotary Kiln yang berfungsi sebagai penyerap belerang dari campuran bahan baku selama proses reduksi. Bahan ini dicampur terlebih dahulu sebelum dimasukkan kedalam Rotary Kiln.

Proses Rotary Kiln
Boudard Reaction:
C + CO2 -> 2 CO
Proses Reduksi:
Fe2O3 + 3 CO -> 2 Fe + 3 CO2
Iron ore (lateritic) dan non-coking coal merupakan bahan baku utama untuk memproduksi bijih besi sponge. Dolomit dibutuhkan sebagai bahan desulfurisasi.
Proses Rotary Kiln beroperasi pada temperatur 950-1050 derajat Celcius, batubara sebagai bahan reduktan dan sebagai bahan bakar. Faktor yang penting pada proses reduksi ini adalah mengontrol pembakaran oleh batubara dan mengkonversi karbon monoksida untuk menghilangkan oksigen. Durasi yang dibutuhkan dalam proses di Kiln kurang lebih 10 jam dan keluar dari cooler paling tinggi 100 derajat C.

Artikel Yang Berhubungan


Potensi Tinggalan Arkeologi Maritim di Aceh dan Pengelolaannya


(Suatu Kajian Awal)
Oleh: Yadi Mulyadi
Staf Pengajar Jurusan Arkeologi
Universitas Hasanuddin


Prolog
Keberadaan airlah yang menyebabkan munculnya aktifitas kemaritiman. Dominasi air yang begitu besar menjadikan hampir 70 % permukaan bumi berupa lautan yang menjadi pemisah antar daratan. Untuk memadukan lautan, manusia dengan akalnya menghasilkan budaya maritim yang merupakan refleksi kehidupan dalam mengarungi lautan. Salah satunya adalah perahu dan kapal yang berfungsi sebagai sarana transportasi untuk menjelajahi lautan sehingga memungkinkan manusia untuk berpindah dan satu daratan ke daratan lainnya di muka bumi ini. Dengan kapal pula manusia, mengadakan perjalanan jauh membawa komoditi perdagangan untuk mereka jual di daratan lain atau pulau lain. Demikian pula di Indonesia yang merupakan negara kepulauan, aktifitas kemaritiman telah berlangsung sejak lama. Hal ini didukung dengan adanya temuan nekara, manik¬manik, dan alat-alat logam lainnya yang menyebar dari Sabang hingga Merauke,, menjadi bukti sejarah bahwa perdagangan di Indonesia sudah dimulai dari jaman prasejarah (Mahmud, 2002). Sedangkan temuan manik-manik kaca Indo-Pasifik yang menyebar di seluruh kawasan Indonesia hingga Pasifik merupakan bukti nyata terjadinya perdagangan antar bangsa dan lebih meningkat berkat adanya hubungan maritim yang dilakukan dengan menggunakan kano atau perahu sejenisnya (Bellwood, 2000). Pada akhirnya perdagangan dan kemaritiman menjadi dua hal yang tidak dapat dilepaskan dari sejarah bangsa Indonesia.

Indonesia yang terletak pada jalur persilangan lalu lintas perdagangan dunia menjadikannya sebagai jalur terpadat perdagangan maritim di kawasan Asia Tenggara. Kondisi ini yang memicu munculnya kerajaan-kerajaan besar dengan pelabuhan laut yang besar pula. Sebut saja Kerajaan Aceh, Samudra Pasai, Sriwijaya, Melayu, Singasari, Majapahit, Mataram, Gowa-Tallo, Buton, Temate, Tidore hingga Demak Bintoro memiliki pelabuhan yang ramai dikunjungi pedagang-pedagang asing dan nusantara. Adanya pelabuhan laut tersebut maka mendorong arus distribusi barang berlangsung sangat cepat. Sehingga kebutuhan barang ekspor dan impor semakin meningkat pesat. Barang-barang dagangan baik yang merupakan komoditi ekspor maupun impor diperjualbelikan antar pedagang nusantara dan juga pedagang asing yang memasuki perairan nusantara.

Aktifitas perdagangan di masa lalu itulah yang kemudian menyisakan tinggalan-tinggalan budaya yang mencerminkan kemaritiman. Dalam arkeologi tinggalan tersebut menjadi objek utama kajian arkeologi maritim. Perdagangan masa lalu selama ini lebih banyak dikaji dan kajian ilmu sejarah, arkeologi maritim yang memfokuskan kajian pada tinggalan bendawi kemaritiman dapat memberikan perspektif baru tentang sejarah perdagangan dan kemaritiman di Indonesia. Sebagaimana yang diutarakan oleh Sedyawati, arkeologi maritim meliputi dua ranah garapan. Pertama, mempelajari dan menangani segala tinggalan di bawah air. Kedua, mempelajari segala sesuatu yang terkait dengan kelautan dan pelayaran, namun datanya terdapat di daratan (Sedyawati, 2006:30). Pelayaran tentu saja identik dengan aktifitas perdagangan. Dengan pelayaran, perdagangan antar kawasan dapat terjadi dan menciptakan pusat-pusat perdagangan termasuk di Indonesia bermunculan pusat-pusat perdagangan yang pernah berjaya di masanya.

Salah satu pusat aktifitas kemaritiman adalah Aceh, yang merupakan pusat perdagangan dan pelabuhan teramai pada masanya. Kajian tentang perdagangan dan kemaritiman di Aceh masih sangat minim, sehingga apa yang dihasilkan dan penelitian arkeologi maritim di Aceh dapat semakin mempertegas jejak sejarah kemaritiman di Indonesia. Selain itu, potensi kesejarahan maupun keberadaan objek dan tinggalan maritim tersebut berpeluang untuk dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata budaya yang dapat menambah pendapatan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sekilas Sejarah Aceh
Membicarakan sejarah Aceh berarti menguraikan jejak panjang perjalanan suatu peradaban yang gemilang yang telah ditempuh. Berbicara tentang sejarah Aceh tidak dapat dilepaskan dari fakta sejarah akan keberadaan kerajaan ataupun kesultanan di Aceh yang menjadi pusat agama Islam di nusantara. Sebagai kajian awal mengenai potensi arkeologi maritim di Aceh, maka sejarah Aceh diuraikan secara umum saja untuk memberikan gambaran betapa Aceh tidak dapat dilepaskan dari kemaritiman.

Dalam beberapa literatur sejarah disebutkan bahwa Aceh merupakan pusat penyebaran Islam di Nusantara. Bahkan di Aceh pula pertama kali muncul kerajaan Islam yang berperan dalam penyebaran agama Islam ke wilayah lain di nusantara. Dalam catatan A. Hasymi, di wilayah Perlak, Aceh Timur, Nangroe Aceh Darussalam pada tanggal 1 Muharam 225 H atau 804 M telah berdiri Kesultanan Perlak sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia. Ironisnya nama Kesultanan Perlak sebagai sejarah permulaan masuknya Islam di Indonesia kurang begitu dikenal dibandingkan dengan Kesultanan Samudera Pasai. Namun demikian, nama Kesultanan Perlak justru terkenal di Eropa karena kunjungan Marco Polo pada tahun 1293.

Perlak dikenal dengan kekayaan hasil alamnya yang didukung dengan letaknya yang sangat strategis. Apalagi, Perlak sangat dikenal sebagai penghasil kayu perlak, yaitu jenis kayu yang sangat bagus untuk membuat kapal. Kondisi semacam inilah yang membuat para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia tertarik untuk datang ke daerah ini. Masuknya para pedagang tersebut juga sekaligus menyebarkan ajaran Islam di kawasan ini. Pada masa itu masyarakat Perlak mulai diperkenalkan tentang bagaimana caranya berdagang, sehingga memasuki awal abad ke-8 M, Perlak dikenal sebagai pelabuhan niaga yang sangat maju.

Selain Perlak terdapat pula kesultanan Benua Tamiang merupakan kerajaan Islam tertua di Aceh, Indonesia, setelah Kesultanan Perlak. Belum ditemukan data dan sumber yang pasti tentang kapan masuknya Islam, proses perkembangannya, hingga mulai terbentuk Kesultanan Benua Tamiang yang telah dipengaruhi oleh sistem politik yang berasaskan Islam. Berikut ini akan dijelaskan terlebih dahulu masa awal pembentukan Negeri Tamiang sebagai cikal bakal berdirinya Kesultanan Benua Tamiang. Bukti adanya Negeri Tamiang adalah bersumber dan data-data sejarah, seperti dalam Prasasti Sriwijaya, buku Wee Pei Shih yang mencatat Negeri Kan Pei Chiang (Tamiang), dan buku Nagarakretagama yang menyebut 'Tumihang", serta benda-benda peninggalan budaya yang terdapat pada situs Tamiang.

Proses islamisasi di Tamiang berlangsung relatif singkat. Setelah masuknya rombongan ke Tamiang dan melakukan dakwah keagamaan, banyak rakyat Tamiang yang kemudian memeluk Islam. Wilayah Aceh Tamiang dialiri dua cabang sungai besar, yaitu Sungai Tamiang (yang terbagi menjadi Sungai Simpang Kiri dan Sungai Simpang Kanan). Keberadaan sungai-sungai ini bagi masyarakat Tamiang sangat penting karena di samping dapat digunakan sebagai pengairan tanaman pangan juga dapat digunakan sebagai alat transportasi, seperti untuk mengangkut produksi pertanian, perkebunan, maupun untuk mengangkut bahan-bahan kebutuhan konsumsi, dagang, dan konstruksi.

Adapun kerajaan lain yang paling terkenal di tanah Aceh adalah kerajaan Aceh yang berdiri menjelang keruntuhan Samudera Pasai. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada tahun 1360 M, Samudera Pasai ditaklukkan oleh Majapahit, dan sejak saat itu, kerajaan Pasai terus mengalami kemudunduran. Diperkirakan, menjelang berakhimya abad ke-14 M, kerajaan Aceh Darussalam telah berdiri dengan penguasa pertama Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H (1511 M) . Pada tahun 1524 M, Mughayat Syah berhasil menaklukkan Pasai, dan sejak saat itu, menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut. Bisa dikatakan bahwa, sebenarnya kerajaan Aceh ini merupakan kelanjutan dan Samudera Pasai untuk membangkitkan dan meraih kembali kegemilangan kebudayaan Aceh yang pernah dicapai sebelumnya.

Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naik tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial Portugis. Mughayat Syah dikenal sangat anti pada Portugis, karena itu, untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ia taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak saat itu, kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dan penaldukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.

Dalam sejarahnya, Aceh Darussalam mencapai masa kejayaan di masa Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1590-1636). Pada masa itu, Aceh merupakan salah satu pusat perdagangan yang sangat ramai di Asia Tenggara. Kerajaan Aceh pada masa itu juga memiliki hubungan diplomatik dengan dinasti Usmani di Turki, Inggris dan Belanda. Pada masa Iskandar Muda, Aceh pernah mengirim utusan ke Turki Usmani dengan membawa hadiah. Kunjungan ini diterima oleh Khalifah Turki Usmani dan ia mengirim hadiah balasan berupa sebuah meriam dan penasehat militer untuk membantu memperkuat angkatan perang Aceh.

Hubungan dengan Perancis juga terjalin dengan baik. Pada masa itu, Perancis pernah mengirim utusannya ke Aceh dengan membawa hadiah sebuah cermin yang sangat berharga. Namun, cermin ini ternyata pecah dalam perjalanan menuju Aceh. Hadiah cermin ini tampaknya berkaitan dengan kegemaran Sultan Iskandar Muda pada benda-benda berharga. Saat itu, Iskandar Muda merupakan satu-satunya raja Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen (Aula Kaca) di istananya yang megah, Istana Dalam Darud Dunya. Konon, menurut utusan Perancis tersebut, luas istana Aceh saat itu tak kurang dan dua kilometer. Di dalam istana tersebut, juga terdapat ruang besar yang disebut Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah, dan aliran sungai Krueng yang telah dipindahkan dan lokasi asal alirannya.

Potensi dan aspek pengelolaannya sebagai sumberdaya budaya
Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa Aceh merupakan wilayah yang memiliki potensi tinggalan arkeologi maritim yang cukup melimpah. Wilayah yang dulu merupakan pusat kerajaan-kerajaan di Aceh dapat ditelusuri kembali untuk mengetahui jejak sejarah aktifitas kemaritiman di Aceh. Seperti wilayah Perlak yang pada abad 8 M merupakan pelabuhan niaga yang sangat maju. Demikian pula wilayah sungai Simpang Kiri dan sungai Simpang Kanan serta sungaiXrueng Kaloy yang merupakan pusat wilayah kesultanan Benua Tamiang.

Hal tersebut memberikan gambaran bahwa Aceh merupakan sebuah kawasan budaya yang begitu luas dan perlu segera ditangani dengan tepat. Kegiatan penelitian yang eksploratif dan deskriptif dapat dilakukan secara kontinyu untuk memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh. Aspek lainnya yang tidak kalah penting adalah pengelolaan sumberdaya budaya maritim tersebut untuk kepentingan jangka panjang yang bermanfaat bagi masyarakat.

Sumberdaya budaya merupakan aset yang dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat secara umum, baik kepentingan idiologis, akademis maupun untuk kepentingan yang bersifat ekonomis (Cleere, 1989: 5-10). Dalam hubungan ini maka sumberdaya budaya perlu mendapat penanganan (pengelolaan) secara tepat agar dapat terjaga dan terlindungi kelestariannya. Berkenaan dengan pengelolaan, diperlukan bentuk dan jenis pengelolaan yang merujuk langsung pada kepentingan perlindungan dan pelestarian terhadap sumberdaya budaya temasuk sumberdaya arkeologi. Hal itu diperlukan untuk tetap mempertahankan keberadaan situs yang merupakan sumber data utama bagi kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, serta kepentingan penelitian arkeologi pada khususnya. Selain itu, dengan tetap lestarinya peninggalan budaya tersebut maka dapat tetap dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan masyarakat umum.

Satu hal yang sangat penting dalam keseluruhan sistem pengelolaan sumberdaya budaya, adalah upaya perlindungan dengan menerapkan suatu mekanisme yang disebut dengan zoning (pemintakan). Pemintakan dalam hal ini adalah penataan ruang kawasan. Gagasan ini sebenarnya diperuntukkan untuk mengontrol dan mengatur penggunaan tanah untuk pembangunan masa yang akan datang. Sebagimana dikemukakan oleh Callcott (1989) bahwa:

"Zoning is a tool that provides a local government wih a basic framework for land-use control ang regulating future depelopment. The power to zone is provided by each state through enabling to its munificalities. Since zoning is one the basic factor that affect property its uses, and its building, varyng applications of this techniques must be understood by those interested in rural conservation" (Callcott, 1989: 16).

Konsep ini dipakai untuk melindungi dan mengatur dalam upaya pelestarian obyek sejarah dan arkeologi dan nilai-nilai yang dikandungnya serta keaslian lingkungan masa lalu.

Secara khusus upaya penanganan terhadap sumberdaya arkeologi di Indonesia, telah dilakukan sejak masa pemerintahan Kolonial Belanda, yang dilakukan oleh suatu badan berbentuk kepanitiaan bernamaCommisie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundig Oderzoek op Java end Madoera tahun 1901 (Mundardjito, 1996: 124) yang kemudian berganti menjadi Oudheidkundig Dienst (Jawatan Purbakala) tahun 1913. Sementara secara operasional pada tahun 1931 dikeluarkan Monumenten Ordonantie Staatblad Nomor 238 yang mengatur tentang perlindungan dan penanganan peninggalan sejarah dan purbakala dalam wilayah Hindia Belanda. Perangkat hukum ini dianggap tidak memadai, dan oleh pemerintah Indonesia menggantikannya dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Baru pada tahun 1980-an gaung pengelolaan sumberdaya budaya di Indonesia mulai dirintis oleh para akademisi dan para peneliti arkeologi, sebagai tanggapan serius dan issu internasional. Di samping mengingat bahwa Indonesia adalah salah satu "kawasan" dengan sumberdaya budaya beraneka ragam. Pusat-pusat budaya arkeologi di Indonesia tersebar di hampir seluruh kepulauan, yang membutuhkan penanganan serius dan terpadu.

Kenyataan menunjukan bahwa sumberdaya budaya yang juga meliputi tinggalan¬tinggalan arkeologis, tidak hanya berupa benda yang dapat dipindah tempatkan (movable) tetapi juga dapat berupa bangunan (fitur), atau jejak-jejak lain yang melekat permanen (unmovable). Misalnya lukisan prasejarah yang terdapat di dalam gua-gua serta benda¬benda lainnya yang merupakan satu kesatuan budaya. Potensi budaya "mati" ini secara teknis dapat dikelola dengan berbagai pendekatan dengan maksud-maksud akademik, pelestarian, penelitian, ekonomi dan pariwisata serta sebagai sarana pencitraan kebudayaan bangsa Indonesia.

Salah satu pengertian pengelolaan sumberdaya budaya adalah bagaimana mengelola dengan baik sehingga dapat dimanfaatkan secara efektif dan tidak saling berbenturan antar kepentingan. Pengertian ini bermakna bahwa mengabaikan sumberdaya budaya sebagai akses penting pembangunan nasional adalah tindakan yang berbahaya. Demikian pula, bahwa penggarapan lingkungan secara tidak terkendali dapat membahayakan ekosistem, keseimbangan lingkungan dan terancamnya sumber-sumber kehidupan demikian pula sumberdaya arkeologi.

Seiring dengan perkembangan secara global, terjadi pergeseran lingkup kegiatan pengelolaan sumberdaya budaya. Awalnya hanya meliputi kegiatan preservasi budaya materi, baik melalui kegiatan rekaman data maupun preservasi tinggalan fisiknya yang seringkali memisahkan tinggalan arkeologis dengan kawasan budayanya dan dengan masyarakat lokal. Kemudian pengelolaan sumberdaya budaya berkembang menjadi kegiatan preservasi terhadap segala sesuatu yang masuk dalam pengertian dan konsep tentang budaya yang lebih luas. Secara lebih nyata, perkembangan pemahaman baru tersebut dapat diamati melalui berbagai piagam, deklarasi dan implementasi yang mengalami perkembangan.

Salah satunya yang dihimpun dalam Burra Charter yang disusun tahun 1979 hingga 1988 di Australia. Demikian pula di Amerika Serikat yang telah mengeluarkan Wasington Charter pada tahun 1987. Secara lebih global, kebijakan pengelolaan sumberdaya budaya di beberapa negara kemudian merujuk pada ratifikasi dan UNESCO conventions, seperti World Heritage Convention tahun 1972, Valetta Convention danConvention on the Protection of the Underwater Cultural Heritage tahun 2001. Selain merujuk pada kebijakan-kebijakan tersebut di atas, terdapat juga kebijakan-kebijakan yang lebih spesifik bagi situs-situs tertentu, terutama bagi situs yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.

Di tingkat nasional pun geliat pengelolaan sumberdaya budaya mengalami perkembangan yang positif, terlepas masih adanya kasus-kasus pengrusakan sumberdaya budaya. Seperti dapat dilihat dengan munculnya kebijkan-kebijakan tentang pengelolaan sumberdaya budaya berupa peraturan-peraturan daerah. Misalnya Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 5 Tahun 2005 tentang Pelestarian Bangunan dan/atau Lingkungan Cagar Budaya. Dalam salah satu pasalnya disebutkan bahwa lingkungan cagar budaya adalah kawasan di sekitar atau di sekeliling bangunan cagar budaya yang diperlukan untuk pelestarian bangunan cagar budaya dan/atau kawasan tertentu yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Selain itu pemerintah Kota Yogyakarta pun telah memiliki peraturan daerah yang mengatur kawasan cagar budaya di kota.

Dengan perkembangan tersebut, lingkup kajian pengelolaan sumberdaya budaya kemudian tidak hanya terfokus pada lingkup data arkeologis yang bersifat fisik (tangible) saja, melainkan juga terhadap semua manifestasi dan budaya manusia, di antaranya seperti mitos, seni, bahasa, musik, dan tradisi budaya, yang lebih bersifat nonfisik (intangible) dalam suatu konteks kawasan budaya tertentu (Parson and Sullivan, 1995). Perubahan lingkup kajian tersebut disebabkan karena munculnya pemahaman barn yang melihat bahwa komponen-komponen sumberdaya budaya seringkali tidak berdiri sendiri. Keberadaan sumberdaya budaya saling berkaitan dengan aspek-aspek lain, yang sangat erat hubungannya dengan kehidupan sehari-hari masyarakat saat ini yang semakin dinamik, dalam satu kawasan. Dengan pemahaman tersebut, maka disadari bahwa keberadaan sumberdaya budaya merupakan satu kesatuan dalam kawasan cagar budaya yang tidak dapat dipisahkan dan masyarakat.

Penutup
Potensi tinggalan arkeologi maritim yang begitu besar di Aceh tentu saja sangat disayangkan apabila tidak ada tindakan nyata untuk penangannya. Penanganan dalam hal pengelolaan sebagai sumberdaya budaya. Pada hakekat cultural resource management (CRM) atau managemen sumberdaya budaya adalah pelestarian atau konservasi, dimana konsep pelestarian harus dipahami dalam konteks transformasi budaya, proses transformasi dan konteks sistem ke konteks arkeologi. Pelestarian menjadi hal yang vital dalam CRM ini karena sumberdaya arkologi alias sumberdaya budaya pasti akan mengalami degradasi, semakin lama semakin menghilang. Semakin purba budaya diciptakan semakin langka untuk tetap bertahan. Sehingga dalam hal ini hakekat pelestarian adalah berusaha mempertahankan sumberdaya budaya agar tetap dalam konteks sistem atau mengembalikannya ke dalam konteks sistem dengan cara selalu memberi makna bagi sumberdaya budaya.

Sedangkan dengan diterapkannya sistem zonasi, diharapkan keberadaan tingalan arkeologi maritim sebagai sumberdaya budaya di Aceh dapat terus dilestarikan. Sehingga menghindarkannya dan bahaya kerusakan yang mengancam sambil dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan seperti; ideologi, guna memantapkan identitas budaya bangsa; kepentingan akademik, terutama dalam rangka penyelamatan sumber-sumber data dan; kepentingan ekonomik dalam hubungannya dengan kepariwisataan. Namun dalam prakteknya nanti, tentu tidak lepas dan reaksi masyarakat terhadap rencana pengembangan ini, baik yang mendukung maupun yang sama sekali menolak. Untuk itu posisi masyarakat tidak dapat diabaikan begitu saja, namun semua yang berkaitan dengan warisan budaya baik penelitian, pelestarian dan pemanfaatannya harus mengutamakan kepentingan masyarakat secara luas (McGimsey dan Davis, 1977; Mcleod, 1977; Cleere, 1989; dalam Tanudirjo, 1993: 3-7). Sehingga hasil manajerialnya dapat mengakomodir semua kepentingan dan proses pelestarian dan pemanfaatannya sebagai obyek wisata akan seiring dan sejalan dengan upaya pengembangan ekonomi masyarakat setempat.

Hasil dari seluruh kegiatan pengelolaan potensi tinggalan arkeologi maritim di Aceh yang dilakukan harus dapat digunakan untuk keperluan perawatan dan perencanaan ke depan demi kelestarian obyek tersebut. Sementara bagi masyarakat setempat dan Pemerintah Propinsi NAD dapat memanfaatkan kesempatan ini dalam usaha mendongkrak Pendapatan Asli Daerah-nya.

Terpulang dari itu semua, usaha pelestarian sumberdaya budaya, kembali pada kebijakan yang keluarkan pemerintah untuk melindungi dan mempreservasi sumberdaya budaya, yang tidak lepas dan tiga komponen utama yakni; kebijakan harus merupakan statement nasional yang kuat untuk melindungi, mempreservasi situs budaya, struktur dan jenis sumberdaya yang lain; memiliki dukungan politik dalam penerapannya dan ; diimplementasikan secara kooperatif antara departemen atau kementrian pada level nasional, dengan level pemerintahan lain dan dengan publik (Francis P. McManamon dan Alf Hatton, 2000; 6).

Dalam konteks inilah, penerapan CRM pada tinggalan arkeologi maritim di Aceh akan memberikan manfaat yang positif. Pemberian makna barn terhadap tinggalan-tinggalan arkeologi maritim dengan cara-cara yang kreatif dan inovatif akan dapat mempertahankan keberadaan sumberdaya budaya tersebut. Dengan melestarikan sumberdaya budaya maka kita akan dapat mengambil manfaatnya, dan jika kita ingin memahami manfaat yang kita peroleh, kita harus menerjemahkan pengetahuan yang kita peroleh untuk masyarakat. Pada intinya dan masyarakatlah proses ini berawal dan kepada masyarakat pula semua itu harus diserahkan. Dengan konsep ini manajemen sumberdaya budaya harus diterapkan dengan keterlibatan masyarakat secara aktif sehingga tercipta masa depan bagi masa lalu Aceh yang lebih baik.


Sumber Bacaan
Cleere, H.F. 1989. Archaeological Heritage Management in the Modern World. London: Unwin Hyman.
Kusumohartono, Bugie .1993. "Penelitian Arkeologi Dalam Konteks Pengembangan Sumberdaya Arkeologi". Dalam Berkala Arkeologi. Yogyakarta: Tahun XII Balai Arkeologi Yogyakarta.
McLeod, Dodal G. .1977. "Peddle or Perish: Archaeological Marketing form Concept to Product". Dalam Conservation Archaeology. London: Academic Press.
McManamon, Francis & Alf Hatton (ed). .2000. Cultural Resource Management in Contempory Society. New York: Routledge
Mundardjito .1996. "Pendekatan Integratif dan Partisipatif Dalam Pelestarian Budaya". Dalam Jurnal Arkeologi Indonesia II. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Nuryanti, Wiendu. 1999. Tourism and Culture Global Civilization in Change?. Lester Borley. Heritage and Environment Management : The International Perspective. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
Pearson, Michael dan Sullivan Sharon .1995. Looking After Heritage Places the Basics of Heritage Planning for Mangers, Landowners and Administrators. Melbourne: Melbourne University Press.
Renfrew, Colin dan Bahn Paul .1991. Archaeology, Theories, Method and Practice. London: Thames and Hudson Ltd.
Saridewi, Dian .2002. "Karakteristik Kota Purworejo Tahun 1830-1942" skripsi sarjana, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Scovill .1977. Managing Archaeology. New York: Roudledge Tj Press Ltd.
Tanudirjo, Daud Aris .1993. Kualitas Penyajian Warisan Budaya Kepada Masyarakat: Studi Kasus Manajemen Sumberdaya Budaya Candi Borobudur. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas, Studi Sosial Universitas Gadjah Mada.


Sumber
http://www.wacananusantara.org/

Saturday, June 25, 2011

Cara mengaktifkan autofilter data (menonaktifkan autofilter) di excel 2003

Untuk menampilkan data berdasarkan kategori tertentu bisa dengan menggunakan fasilitas autofilter data di excel 2003

1. Pilih baris pertama, klik saja angka 1 yang ada di pojok kanan atas sheet
Di Menu Bar pilih Data -  Filter - Autofilter





2. Akan muncul panah segitiga pada aris pertama, di dropdown menu pilih bilangan prima agar yang tampil hanya bilangan prima

3. Hasilnya akan tampak seperti di bawah ini
Hasil filter bisa dikopi ke sheet lain tanpa mempengaruhi sheet sumbernya.


Untuk menonaktifkan autofilter, Di Menu Bar pilih Data -  Filter - Autofilter
http://artikelkomputerku.blogspot.com

Cara mengabungkan fungsi IF HLOOKUP di excel 2003

Jika sebelumnya saya pernah posting tentang cara menggabungkan fungsi if vlookup di excel, maka dalam postingan ini akan dibahas tentang cara menggabungkan fungsi IF HLOOKUP di excel 2003. Kombinasi fungsi IF dan HLOOKUP bisa digunakan jika dalam sebuah tabel kerja mengacu pada dua buah kriteria referensi. Dalam kasus ini variabel tabel referensi akan disusun secara horisontal.

Dalam contoh ini akan dibuat tabel kerja yang berisi  tahun penjualan, kode kertas, jenis kertas dan harga penjualan kertas. Jenis kertas dan harga kertas akan mengacu pada data yang tercantum pada tabel referensi dengan menggunakan penggabungan fungsi IF dan hlookup.

Agar lebih mudahnya buat tabel seperti di bawah ini :

Kosongkan kolom D dan E karena akan diisi dengan formula





Selanjutnya di sel D4 masukkan formula berikut :
=HLOOKUP(C4,$G$3:$K$6,2)
Di sel E4 masukkan formula berikut:
=IF(B4=2010,(HLOOKUP(C4,$G$3:$K$6,3,0)),(HLOOKUP(C4,$G$3:$K$6,4,0)))
Hasilnya terlihat seperti di bawah  ini :